Cari Blog Ini

Selasa, 25 Oktober 2011

PiliHan Hidup

Hidup ini sebenarnya adalah rangkaian
pilihan-pilihan. Dan di antara berbagai
pilihan yang terserak di antara kita, yang
paling mendasar adalah memilih jalan
hidup. Dalam Islam, jalan hidup ini
terbagi dua macam, yaitu jalan kebaikan
dan jalan keburukan, jalan yang lurus dan
jalan yang sesat, jalan yang hak dan jalan
yang bathil. Alalh SWT berfirman :
وهديناه النجدين )البلد : 10(
"Dan Kami telah menunjukkan kepada
manusia dua jalan (kebaikan dan
keburukan)".
Manusia bebas untuk memilih mentaati
atau melawan
perintah-perintah Tuhan.
Setiap orang adalah tuan dari jiwa dan
kemauannya. Ia dapat memilih kejujuran
dan kesuciannya, membebaskan diri dari
nafsu kebinatangan dan hasrat yang tak
berkesudahan dan terpantang dari
kezaliman dan kekejaman.
Sebenarnya hati manusia selalu ingin
menuju pada hal-hal yang baik-baik saja.
Buktinya, bila kita tanya kepada siapa
pun, apakah ia ingin menjadi orang yang
baik atau orang yang jahat; niscaya ia
akan memilih menjadi orang yang baik.
Dalam bahasa agamanya, hal itu
dikatakan sebagai sifat hanif, yaitu
kecenderungan hati yang selalu menuju
kepada kebaikan. Dalam suatu hadits
qudsi disebutkan bahwa Allah SWT
berfirman : "Sesungguhnya telah
kuciptakan hamba-hamba-Ku berwatak
hanif, tetapi datang kepada mereka
setan, maka diselewengkannya mereka
dari agama mereka."
Sifat hanif adalah bagian dari potensi
yang dimiliki manusia yang merupakan
anugerah Allah. Al-qur'an banyak
membicarakan manusia tentang sifat-
sifat dan potensinya. Dalam hal ini
ditemukan sekian ayat yang memuji dan
memuliakan manusia, seperti pernyataan
tentang terciptanya manusia dalam
bentuk yang sebaik-baiknya
sebagaimana Allah berfirman dalam
surat At-Tin : 5 :
لقد خلقنا الإنســان في أحسن
تقويم )التين : 5(
"Sungguh kami telah menciptakan
manusia dalam bentuk yan
g sebaik-
baiknya."
Potensi-potensi yang dimiliki manusia,
pada dasarnya merupakan fitrah yang
dibawa sejak penciptaannya. Fitrah
menurut bahasa berasal dari kata "al-
fathr" yang berarti belahan, dan dari
makna ini lahir makna-makna lain yakni
dalam arti "penciptaan” atau "kejadian".
Sedangkan fitrah manusia menurut
istilah artinya kejadiannya sejak semula
atau bawaan sejak lahir. Allah SWt
berfirman :
فأقم وجهك للدين حنيفا فطرت الله
التي فطر الناس عليها لا تبديل
لخلق الله ذلك الدين القيم ولكن
أكثر الناس لا يعلمون )الروم : 30(
"Maka hadapkanlah wajahmu kepada
agama Allah, (tetaplah atas) fitrah Allah
yang telah menciptakan manusia
menurut fitrah itu. Tidak ada
perubahan atas fitrah Allah. Itulah
agama yang lurus, tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui."

Merujuk pada fitrah yang dikemukakan
di atas, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa manusia sejak asal kejadiannya
membawa potensi beragama yang lurus.
Selanjutnya dipahami juga, bahwa fitrah
adalah bagian dari khalq (penciptaan)
Allah.
Kalau kita memahami kata la pada ayat
tersebut dalam arti tidak, maka ini
berarti bahwa seseorang sesungguhnya
tidak dapat menghindar dari fitrah itu.
Dalam konteks ayat ini, berarti bahwa
fitrah keagamaan akan melekat pada diri
manusia untuk selama-lamanya,
walaupun boleh jadi tidak diakui atau
diabaikan.
Melalui tuntutan agama, manusia dapat
menentukan pilihannya untuk memilih
jalan kebikan dan menghindari jalan
keburukan. Karena segala bentuk
kebaikan betapapun kecilnya pasti
memberikan manfaat bagi manusia dan
mendapatkan pahala dari Allah, jika
tidak di dunia, maka pasti di akhirat ia
akan mendapatkan pahala dari Allah.
Sebaliknya setiap keburukan betapun
kecilnya pasti memberikan mudarat bagi
manusia dan mendapatkan siksaan dari
Allah, jika tidak di dunia, maka pasti di
akhirat ia akan memperoleh balasannya.
Ini adalah hal yang memang sudah
dimaklumi dan disadari oleh setiap
manusia. Bahkan jelas-jelas Allah SWT
memberikan gambaran dalam Al-Qur'an :
فمن يعمل مثقال ذرة خيرا يره ومن
يعمل مثقال ذرة شرا يره )الزلزلة :
7-8(
"Ba
rang siapa yang mengerjakan
kebaikan seberat dzarrahpun, maka dia
akan melihat (balasan)nya. Dan Barang
siapa yang mengerjakan keburukan
seberat dzarrahpun, maka dia akan
melihat (balasan)nya pula."
Hal tersebut memberikan pelajaran bagi
kita bahwa tidak ada yang tidak dibayar
dari perbuatan baik dan buruk kita.
Semua bentuk kebajikan akan
mendapatkan pahala tunai dari Allah
SWT. Begitu juga semua bentuk
kezaliman yang kita lakukan, harus
dibayar tunai dengan balasan di akhirat
nanti.
Dalam hal ini salah seorang sahabat
Rasulullah yang terkemuka, yaitu
Sayyidina Ali bin Abu Thalib pernah
mengatakan, "Hidup ini adalah suatu
bagian dari mata rantai perjalanan
yang harus dilalui manusia, yaitu
bermula dari alam roh lalu menuju alam
janin, kemudian alam dunia, lalu masuk
ke alam kubur dan teraknir menetap
abadi di alam akhirat. Orang yang bijak,
akan menabung bekal sebanyak-
banyaknya agar di akhir perjalanan
nanti ia dapat bersenang-senang. Ia
mengerti benar, bahwa tempat
bersenang-senang itu bukan di
perjalanan, tetapi nanti bila sampai di
tempat tujuan. Orang bijak tidak mau
memanggul bekalnya sendirian, ia
titipkan bekal-bekalnya pada orang
lain, sehingga ia dapat menempuh
perjalanan ini tanpa repot-repot
diganduli oleh perbekalannya.
Ketika para sahabat yang lain bertanya
kepada Sayyidina Ali, "Wahai Ali,
bagaimana caranya menitipkan bekal
kepada orang lain itu ?" Sayyidina Ali
pun menjawab, "Ketahuilah, bahwa
tidak ada hutang yang tidak dibayar.
Bila seseorang menyakiti hatimu, maka
ia harus membayarnya nanti dengan
pahalanya. Begitu pula kezaliman
orang kepadamu, pada hakikatnya
adalah tambahan pahala bagimu.
Begitulah caranya menitipkan bekal
kita pada orang lain.
Hakikat orang yang bangkrut nanti di
akhirat adalah yang banyak berbuat
zalimnya. Bahkan suatu ketika Rasulullah
SAW bertanya kepada para sahabatnya,
"Tahukah kamu siapa orang yang
bangkrut itu? Salah seorang sahabat
menjawab, "Bagi kami orang yang
bangkrut itu adalah orang yang
kehilangan harta dan seluruh miliknya."
Kata Rasulullah, "Bukan. Orang yang
bangkrut itu ialah orang yang datang
pada hari kiamat dengan membawa
pahala dari seluruh shalatnya, zakatnya,
puasanya, hajinya dan lain-lain; tetapi
ketika pahala-pahala itu akan ditimbang,
datanglah orang yang mengadu, 'Ya
Allah, dahulu ia pernah menuduhku
berbuat sesuatu, padahal aku tidak
pernah melakukannya'. Kemudian Allah
menyuruh agar ia membayar orang yang
mengadu itu dengan sebagian pahalanya.
Kemudian datang lagi orang lain yang
mengadu telah didzalimi olehnya, Lalu
Allah menyuruhnya membayar dengan
pahalanya kepada orang yang mengadu
itu.
Sampai tidak ada lagi pahalanya yang
tersisa, semuanya telah habis dipakai
membayar kelakuan zalimnya.
Sementara itu ternyata orang yang
mengadu masih datang juga. Maka Allah
memutuskan agar dosa orang yang
mengadu itu dipindahkan kepadanya
sebagai tebusan atas kesalahan yang
dilakukannya pada orang itu di dunia
dulu.
Dari uraian perkataan Sayidina Ali dan
Hadits Rasulullah SAW di atas, kita dapat
memetik suatu hikmah bahwa andaikata
kita hidup selalu untuk menuju kepada
yang haq (benar) sesuai dengan fitrah
kemanusiaan kita, maka semuanya
semata-mata untuk bekal kita di akhirat
kelak. Jika dalam sebuah masyarakat
terbangun sistem yang menyalahi fitrah
itu, dimana keburukan dipandang
sebagai kebaikan, dan sebaliknya
kebaikan dipandang sebagai keburukan,
maka jelaslah, dalam lingkungan seperti
itu keburukan seperti tipu daya, korupsi
dan kemunafikan mendapat tempatnya.
Alangkah buruknya keadaan suatu
bangsa, jika di dalam para pengkhianat
dipuji dan dihargai sementara para
pelayan yang pantas dan sadar akan
kewajiban dicela dan dihina.
Semoga dengan kesadaran masing-
masing individu kita tentang betapa
besar anugerah kelengkapan jasmani dan
rohani yang kita terima dari Allah SWT, di
antaranya berupa anugerah fitrah
menuju jalan yang haq (benar), maka
akan sangat ironis, bila kita mengaku
sebagai insan yang beriman dan
bertaqwa, akan tetapi tidak
memanfaatkan fitrah itu untuk
melangkah ke jalan hidup yang haq /
benar yang senantiasa diridhoi oleh Allah
SWT.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar